Sebelumnya, harga maksimal hanya Rp 400 per biji. Lonjakan harga ini sudah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir. "Produksi genteng terus menurun. Jadi harganya meroket," kata Ni Made Sunadi (40), salah satu perajin genteng di Banjar Pangkung, Pejaten, Senin (9/7) kemarin. Dijelaskan, krisis buruh pembuat genteng sudah berlangsung lama.
Para buruh kebanyakan dari Lombok dan Jawa. Mereka memilih berhenti lantaran tergiur menjadi tenaga kerja ke luar negeri. "Mungkin gajinya lebih besar, sehingga mereka memilih menjadi TKI," katanya. Biasanya, jika ada buruh, produksi genteng basah bisa mencapai 1.000 biji per hari. Ongkosnya, Rp 125 per biji.
Dulu, kata Sunadi, dirinya memiliki dua buruh asal Lombok. Karena berhenti, kini dia terpaksa membuat genteng sendirian. Hasilnya sangat minim, hanya 300 biji per hari. Padahal, permintaan genteng terus mengalir dari seluruh penjuru Bali, bahkan hingga ke Lombok. Akibat minimnya tenaga, Sunadi kerap kali menolak pesanan dalam jumlah besar.
Sebab, khawatir tak mampu melayaninya. Kini, dia hanya melayani pembelian dalam jumlah kecil atau pesanan perorangan. Wanita ini mengaku sudah berburu tenaga kasar ke luar Bali, namun hasilnya nihil. Banyak buruh kasar yang menolak dengan berbagai alasan. Sedangkan tenaga lokal peminatnya sangat minim.
Selain krisis tenaga, perajin mengeluhkan naiknya bahan baku genteng. Harga tanah liat naik dari Rp 300.000-400.000 per truk. Tanah cadas sebagai campuran harganya ikut naik, dari Rp 100.000 menjadi Rp 150.000 per truk. Kenaikan harga juga melanda bahan bakar dari serabut kelapa yang naik dari Rp 350.000 menjadi Rp 600.000 per truk.
Meski dilanda krisis tenaga, para perajin tetap melanjutkan aktivitasnya. Sebab, pekerjaan ini yang bisa diandalkan. Di Desa Pejaten terdapat ratusan perajin genteng yang terkenal di Bali. Selain genteng, ada juga yang menekuni kerajinan berbagai perabot keramik.
0 comments:
Posting Komentar