TEMPO.CO, Pekalongan- Kurang lengkap rasanya jika singgah ke Kota Pekalongan hanya memburu batik saja tanpa sempat menjajal kulinernya. Sayangnya, dari puluhan warung dalam stan wisata kuliner di Pekalongan Batik Week International (PBWI) 2013, tidak satu pun yang menawarkan menu khas Kota Santri itu.
Setelah menyisir kawasan budaya Jetayu, pusat diselenggarakannya PBWI, Tempo hanya menemukan satu warung makan yang menawarkan menu tradisional Pekalongn. Warung sederhana di depan Kantor Pos Kota Pekalongan, jauh dari stan wisata kuliner PBWI, itu menawarkan menu pindang tetel.
Meski hanya menggelar tikar di trotoar dan mengandalkan pohon peneduh tanpa mendirikan tenda, warung pindang tetel itu tampak dipadati pembeli. Dari pelat nomor sepeda motor dan mobil yang diparkir di depan warung itu, kebanyakan dari Jakarta, Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang, hingga Yogyakarta.
Pembeli terus mengalir. Dari pagi sampai sekarang belum sempat istirahat,â kata pemilik warung, Sarmini, saat ditemui Tempo, Kamis siang, 3 Oktober 2013. Di sela kesibukannya melayani pesanan, perempuan 47 tahun itu mengatakan, pindang tetel adalah masakan khas yang hanya ditemui di Pekalongan.
Meski namanya pindang tetel, masakan mirip rawon itu dibuat dari tetelan daging sapi, bukan ikan pindang. Daging tetelan itu khusus dari iga sapi. âSekilas mirip rawon. Tapi rasanya jauh lebih gurih karena bumbu kluwak (kepayang),â ujar Harmini. Kluwak juga menjadikan kuah pindang tetel tampak lebih gelap.
Selain kluwak, bumbu pindang tetel juga terdiri dari ketumbar, merica, garam, terasi, kecap, cabai merah, bawang merah, dan bawang putih. Untuk menghilangkan bau amis daging, bumbu tersebut dihaluskan bersama lengkuas, salam, dan sereh. Dibandingkan rawon, kuah pindang tetel juga lebih berlemak.
Satu porsi pindang tetel harganya Rp 5.000. Jika ditambah potongan lontong, pembeli cukup merogoh kocek Rp 6.000. Pada hari biasa, Harmini hanya mengolah dua kilogram daging tetelan. Karena sejak Rabu hingga Sabtu ada acara PBWI, ia menambah dagangannya sebanyak dua kali lipat.
Alhamdulillah, ini sudah hampir habis,â ujar Harmini, yang membuka warung sejak 1985. Salah satu pembeli pindang tetel, Taufiq, 42 tahun, mengatakan stan wisata kuliner PBWI kurang gereget karena didominasi menu umum. âMakanya, saya berburu sendiri dan baru menemukan masakan khas di sini,â kata warga Kota Bandung, yang ke Pekalongan untuk menyaksikan PBWI.
DINDA LEO LISTY
0 comments:
Posting Komentar