Home » , » Wisatawan Domestik, Tak Lagi Sekedar Pelipur Lara

Wisatawan Domestik, Tak Lagi Sekedar Pelipur Lara

Sebelum bom Bali pertama tahun 2002, keberadaan wisatawan domestik (wisdom) kerap dipandang sebelah mata. Bahkan, ada hotel tertentu yang menolak wisdom. Namun, semua itu telah menjadi masa lalu. Kini, wisdom justru menjadi penyangga utama pariwisata Bali, selain wisatawan mancanegara (wisman).

Bali relatif lebih beruntung, dibanding destinasi lainnya di Indonesia dalam menggaet wisdom. Di mana aksesibilitas dari dan menuju Bali, baik melalui laut, darat maupun melalui udara relatif memadai. Dengan dibukanya rute-rute baru ke sentra-sentra wisdom seperti kota-kota di Jawa dan Sumatera dan bagian timur Indonesia, industri pariwisata di Bali tinggal me-manage-nya. Baik maskapai penerbangan, travel agent, sarana akomodasi, pasar oleh-oleh dan restoran.

Animo wisdom yang berkunjung ke Bali tidak main-main. Saban tahun, jumlahnya terus meningkat, terutama pada musim liburan sekolah (Juni-Juli) lonjakannya luar biasa. Tahun 2011 misalnya, Dinas Pariwisata Provinsi Bali memperkirakan tak kurang dari 4,5 wisatawan domestik yang berkunjung ke Pulau Dewata. Data ini memang debatable, bisa kurang bisa lebih, sebab antara wisatawan dan orang yang berkunjung biasa ke Bali agak saru (tak jelas).

Terkait hal itu, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Budaya dan Pariwisata Universitas Udayana (Puslitbudpar Unud) Dr. Agung Suryawan Wiranatha mengatakn, criteria wisdom, sbb : (1) mereka yang melakukan perjalanan ke objek wisata komersial, tidak memandang apakah menginap atau tidak menginap di hotel/ penginapan komersial serta apakah perjalanannya lebih atau kurang dari 100 km pp.

(2) Mereka yang melakukan perjalanan bukan ke objek wisata komersial tetapi menginap di hotel/penginapan komersial, walaupun jarak perjalanannya kurang dari 100 km pp. Mereka yang melakukan perjalanan bukan ke objek wisata komersial dan tidak menginap di hotel/penginapan komersial tetapi jarak perjalanannya lebih dari 100 km pp (Nesparnas, 2004). “Itu batasan yang bisa membedakan antara wisdom dan pengunjung biasa,” ujar Dr. Suryawan.

Kadisparda Bali Ida Bagus Kade Subhiksu mengatakan, jumlah wisawan tersebut merupakan hasil survey di sejumlah pintu masuk, baik di Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Benoa, Padangbai dan Gilimanuk. Jumlah 4,5 juta wisdom tersebut hanya mimimum, sebab lalu lintas penumpang di Bandara Ngurah Rai saja sekitar 10 juta per tahun. Belum lagi, yang tiap hari lalu-lalang melewati rute Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk.



Program KNCN
Kegairahan wisdom di Tanah Air mulai menggelora sejak tahun 2005, seusai Kemebudpar yang saat itu dipimpin Jero Wacik meluncurkan program Kenali Negarimu Cintailah Negerimu (KNCN). Programini intinya, bagaimana agar warga dari tiap-tiap daerah bisa saling mengunjungi. Menyaksikan dari dekat keanekaragaman budaya dan adat-istiadat serta keunikan di masing-masing daerah. Program tersebut cukup efektif untuk Bali, DKI Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Namun untuk destinasi lainnya program seperti ini belum sepenuhnya efektif karena masih menemukan kendala.

Pertama, minat warga Indonesia untuk melancong masih rendah. Hanya sedikit kelompok masyarakat yang menilai wisata merupakan suatu kebutuhan. Jangankan ke daerah lain, mengunjungi objek wisata di daerah sendiri saja kurang berminat. Selain alasan pendidikan dan wawasan, kurangnya minat warga Indonesia untuk melancong juga karena alasan ekonomi. Tidak semua rumah tangga atau perorangan di Tanah Air yang menganggarkan dana khusus untuk melancong karena memang masih ada kebutuhan lain yang lebih penting. Kendati demikian, dalam jumlah terbatas khususnya dari kelompok “the have” sudah ada yang gemar melancong. Inilah yang disebut potensi pasar wisdom.

Kendala lain, rendahnya aksesibilitas antardaerah di Indonesia. Yang namanya transportasi udara, hanya menjangkau kota-kota besar di Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Itu pun belum cukup representatif sebagai sarana pendukung pariwisata karena jadwalnya amburadul. Kalau benar-benar ingin mendorong program "wisdomisasi"€, pemerintah harus juga memikirkan faktor aksesibilitas di atas. Pemda-pemda mungkin bisa berpartisipasi untuk memiliki maskapai sendiri, dengan catatan kalau keuangan daerah mencukupi atau membuat kerja sama dengan maskapai komersial seperti pernah dilakukan Pemkab di NTB dengan maskapai TransNusa.

Bali mungkin relatif beruntung. Dengan dibukanya rute-rute baru ke sentra-sentra wisatawan nusantara seperti kota-kota di Jawa dan Sumatera dan bagian timur Indonesia, industri pariwisata tinggal me-manage-nya. Baik maskapai penerbangan, travel agent, hotel, restoran dan pasar oleh-oleh. Mumpung Bali masih menjadi "daerah idaman" bagi calon wisatawan domestik.. Simak saja bonus undian atau perlombaan di TV, misalnya, hadianya pasti tiket melancong ke Bali. Jarang kita dengar hadiahnya melancong ke Papua, apalagi ke Aceh. Jadi sekali lagi, komponen pariwisata Bali tinggal memolesnya.

0 comments:

Posting Komentar